Selasa, 30 Agustus 2011

Jika Ada Sebuah Negeri Yang Melihat Hilal (Ramadhan/Syawal), Apakah Wajib Atas Negeri Lainnya Untuk Mengikutinya (Berpuasa/Berbuka)?



Tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari bahwa setiap negeri mempunyai hilal tersendiri, karena hal itu adalah kenyataan dan juga sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Kuraib yang akan datang. Hanya saja yang mereka perselisihkan adalah, jika sudah ada sebuah negeri yang lebih dahulu melihat hilal lantas dia mereka mengabarkannya ke negeri-negeri lain, apakah semua negeri tersebut harus mengikutinya ataukah mereka menunggu hilal di negeri mereka masing-masing?

Ada beberapa pendapat di kalangan para ulama dalam masalah ini, di antaranya:

1. Wajib atas seluruh negeri lainnya untuk mengikutinya. Ini adalah pendapat Al-Hanafiah, Al-Malikiah, Asy-Syafi’i dan sebagian Asy-Syafi’iyah, dan yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad, juga merupakan mazhab Al-Laits bin Sa’ad. Ini yang dikuatkan oleh banyak ulama di antaranya: Ibnu Taimiah sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, Syaikh Al-Albani dan Syaikh Ibnu Baz.

Mereka berdalil dengan ayat 185 dari surah Al-Baqarah, “Maka barangsiapa di antara kalian yang melihatnya (hilal ramadhan) maka hendaknya dia berpuasa.” Dan juga hadits Abu Hurairah secara marfu’, “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal ramadhan) dan berbukalah kalian karena melihatnya (hilal syawal).” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081) Dan juga hadits Ibnu Umar yang telah berlalu.

Mereka mengatakan bahwa perintah dalam hadits ini ditujukan kepada seluruh kaum muslimin tanpa ada pengkhususan pada daerah tertentu. Sama seperti ketika diperintah shalat maka perintahnya berlaku umum untuk seluruh kaum muslimin di berbagai negeri, tidak terkhusus pada kaum muslimin di tempat tertentu. Lihat ucapan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (4/194)

Mereka juga mengatakan bahwa pendapat ini lebih menyatukan kaum muslimin dan menampakkan syiar Islam di berbagai negeri tatkala secara serentak mereka semua berpuasa, dan itu memberikan pengaruh tersendiri kepada musuh-musuh Islam.

2. Yang wajib mengikutinya hanyalah negeri yang semathla’ (tempat terbitnya matahari) dengan negeri yang melihatnya. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’iyah, sebagian Al-Malikiah dan Al-Hanafiah, dan salah satu pendapat Ahmad. Ini adalah pilihan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid dan Ibnu Taimiah dalam Al-Ikhtiyarat, serta yang dikuatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.

Mereka juga berdalil dengan dalil yang sama dengan pendapat pertama, hanya saja mereka mengatakan perintah pada dalil-dalil tersebut ditujukan kepada negeri-negeri yang semathla’ dengannya.


3. Setiap negeri tidak wajib mengikutinya, tapi mereka menunggu hilal di negeri mereka masing-masing. Ibnu Al-Mundzir menukil pendapat ini dari Ikrimah, Al-Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdillah bin Umar, dan Ishaq bin Rahawaih.

Mereka berdalilkan dengan kisah Abu Kuraib yang diutus oleh Ibnu Abbas yang berada di Madinah untuk menuju Syam. Dia diutus pada bulan sya’ban kemudian kembali ke Madinah di akhir bulan ramadhan. Lalu Ibnu Abbas bertanya kepadanya, “Kapan kalian melihat hilal (ramadhan)?” dia menjawab, “Kami melihatnya pada malam jumat,” Ibnu Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihatnya pada malam sabtu. Maka kami akan tetap berpuasa sampai 30 hari atau kami melihatnya (hilal syawal).” Maka Kuraib berkata, “Kenapa kamu tidak mencukupkan dengan (baca: mengikuti) rukyat dan puasanya Muawiah (Amirul Mukminin yang ketika itu berdiam di Syam)?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada kami.” (HR. Muslim no. 1078)

4. Setiap negeri mengikuti pemimpinnya, kalau dia berpuasa maka mereka juga ikut berpuasa, dan kalau tidak maka mereka tidak boleh berpuasa. Demikian pula halnya dalam idul fithr. Kalau umat Islam mempunyai khalifah lantas dia menetapkan berpuasa maka wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikutinya.

Mereka berdalil dengan hadits:

الصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ

“Waktu berpuasa adalah hari ketika semua orang berpuasa dan hari berbuka adalah hari ketika semua orang berbuka.” (HR. At-Tirmizi no. 697 dari Abu Hurairah)

Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/311), “Yang diamalkan oleh manusia pada umumnya di zaman ini adalah pendapat ini, yaitu jika pemerintah sudah menetapkan maka wajib atas seluruh rakyat yang berada di bawah wilayahnya untuk mengikutinya dalam hal berpuasa dan berbuka (lebaran).”


Tarjih:

Pendapat yang paling tepat adalah pendapat yang pertama.

Adapun pendapat yang kedua maka kita katakan bahwa perbedaan mathla’ adalah perkara yang tidak bisa ditetapkan dengan batasan dan ukuran tertentu. Apa yang menjadi batasan dalam menggolongkan sebuah negeri ikut ke mathla’ ini dan yang lainnya tidak?! Karenanya Syaikh Al-Albani berkata dalam Tamamul Minnah, “Mathla-mathla’ adalah perkara nisbi, dia tidak mempunyai batasan nyata yang dengannya manusia bisa mengetahuinya dengan jelas.”

Adapun dalil pendapat ketiga maka itu hanyalah ijtihad dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhuma- semata dan beliau tidak membawakan dalil dari Nabi. Adapun ucapannya, “Tidak, demikianlah yang Rasulullah -Shallallahu alaihi wasallam- perintahkan kepada kami,” maka yang dimaksudkan dengannya adalah hadits Ibnu Umar dan Abu Hurairah tentang perintah berpuasa dan berbuka karena melihat hilal. Demikian yang diterangkan oleh Ibnu Taimiah, Ibnu Daqiqil Id, Asy-Syaukani, dan selainnya.

Adapun pendapat yang keempat, maka dalil mereka itu berlaku bagi orang yang berpuasa dengan rukyat negerinya, kemudian di tengah ramadhan datang kabar bahwa hilal di negeri lain terlihat sehari atau dua hari sebelum negerinya. Maka dalam keadaan seperti itu hendaknya dia melanjutkan puasanya bersama penduduk negerinya hingga 30 hari atau mereka melihat hilal. Jawaban semisal ini disebutkan oleh Ash-Shan’ani dalam Subulus Salam

Catatan:

Walaupun pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama, akan tetapi yang berpendapat dengannya hendaknya tidak menampakkan penyelisihannya terhadap pemerintah, guna menjaga persatuan kaum muslimin, sebagaimana yang akan ditengkan setelah ini.

[Al-Majmu': 6/273-274, Al-Mughni: 3/5, Kitab Ash-Shiyam dari Syarhul Umdah: 1/170-175, Fathul Bari no. 1911, Syarh Musllim: 7/197, Majmu' Al-Fatawa: 25/103, Ar-Raudhah An-Nadiyah: 1/224-225, Tamamul Minnah hal. 398, Asy-Syarhul Mumti’: 6/308-312, Taudhihul Ahkam: 3/140, dan Shahih Fiqhus Sunnah: 2/95-96]
 

Tidak ada komentar: