Selasa, 12 Oktober 2010

Di Manakah Allah ?, Empat Imam Mahdzab Sepakat Bahwa Allah Berada di atas Langit (Arsy)



Bismillahirrahmaanirrahiim.........

Apakah Allah Subhanawata'ala itu tidak memiliki tempat (singgasa)?? Padahal Allah adalah Yang Paling Mulia, yang paling tinggi kedudukannya dari seluruh isi langit dan bumi? Mengapa masihkah hamba-Nya menyebutkan bahwa Allah ada dimana-mana??Allah tidak memiliki tempat???Adanya arsy Allah, Allah sendirilah yang menghendakinya..bagaimana tidak??Itu hal mudah bagi Allah,Allah dapat membuat seluruh isi langit dan bumi sesuai kehendaknya. Tentulah Allah BERBEDA dengan makhluknya. Bagaimana mungkin Tuhan sama seperti makhluknya? Naudzubillahimindzalik!! Allah Maha Maha Mendengar apakah lantas disifati Allah memiliki alat pendengaran seperti manusia???TIDAK!!! Allah berbeda dengan makhluknya.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang disifati oleh-Nya (Allah) untuk Diri-Nya (Allah) atau apa yang sifatkan melalui Rasul-Nya, serta tidak boleh melampaui al-Qur’an dan al-Hadis. Jalan yang ditempuh para salafushalih menyifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya(Allah) dan dengan apa yang disifatkan melalui Rasul-Nya, tanpa tahrif dan ta’thil, takyif dan tamtsil.

Beriman kepada nama-nama Allah Subhanawata'ala dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang diterangkan dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya Subhanawata'ala., menurut apa yang layak bagi Allah Subhanawata'ala, tanpa ta’wil dan ta’thil, tanpa takyif, dan tamtsil, berdasarkan firman Allah Subhanawata'ala.:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ


Tiada sesuatupun yang serupa dengan (ZatNya, sifat-sifatNya, dan pentadbiranNya) dan Dia lah yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat. (asy-Syura 42: 11)

Ta’thil – adalah menghilangkan makna atau sifat Allah.
Takyif - adalah mempersoalkan hakikat asma’ dan sifat Allah dengan bertanya “bagaimana”.

Tamtsil - adalah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Ini sebagai wujud ketaatan seorang mukmin kepada Tuhannya, tidak diliputi hawa nafsu dan kesetan dalam mentakwil nama-nama baik sesuai kehendak mereka. Belajarlah pada ulama-ulama yang rajih pemahamanya bukan ulama-ulama yang menafsirkan sesuai kehendaknya tanpa ada maslahatnya (mencerca bukan menegakkan hujjah dan menempatkan dalil bukan pada tempatnya), dan berani mengadakan kebohongan untuk membenarkan fatwanya! Merujuklah pada jumhur (mayoritas) ulama yang shohih periwayatannya bukan pada ulama yang mengada-ada dan berani mengadakan kebohongan dengan mengambil bukti-bukti yang ditafsirkan serampangan.

Allah Subhanawata'ala berfirman:
هَؤُلاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً لَوْلا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? (al-Kahfi 18: 15)

Sikap Keras Abu Hanifah Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah
Imam
Abu Hanifah mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”

Ini berbeda dengan orang yang benar-benar tidak tahu  (tidak berilmu) dengan orang yang benar-benar MENGINGKARI.

Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سمواته  فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض  قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق
بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم

Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir”

Imam Malik bin Anas, Imam Darul Hijroh Meyakini Allah di Atas Langit
Dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ketika membantah paham Jahmiyah, ia mengatakan bahwa Imam Ahmad mengatakan dari Syraih bin An Nu’man, dari Abdullah bin Nafi’, ia berkata bahwa Imam Malik bin Anas mengatakan,
الله في السماء وعلمه في كل مكان لا يخلو منه شيء
“Allah berada di atas langit. Sedangkan ilmu-Nya berada di mana-mana, segala sesuatu tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”

Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به فأخرج
“Suatu saat ada yang mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Lalu bagaimana Allah beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’ adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang tersebut diperintah untuk keluar.[9]

Inilah perkataan yang shahih dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan robi’ah yang pernah kami sebutkan. Itulah keyakinan Ahlus Sunnah.

Imam Asy Syafi’i-yang menjadi rujukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia dalam masalah fiqih- meyakini Allah berada di atas langit
Syaikhul Islam berkata bahwa telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya.
Imam Ahmad bin Hambal Meyakini Allah bukan Di Mana-mana, namun di atas ‘Arsy-Nya

Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw (ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).”
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu berada.
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ
Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و لايخلو منه مكان

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”
Abu Bakr Al Atsrom mengatakan bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.”

Tidak Perlu Disangsikan Lagi
Itulah perkataan empat Imam Madzhab yang jelas-jelas perkataan mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Bahkan sebenarnya ini adalah ijma’ yaitu kesepakatan atau konsensus seluruh ulama Ahlus Sunnah. Lantas mengapa aqidah ini perlu diragukan oleh orang yang jauh dari kebenaran?
Ini bukti ijma’ ulama yang dibawakan oleh Ishaq bin Rohuwyah.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم كل شيء في أسفل الأرض السابعة
“Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakana, Ishaq bin Rohuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh.
Adz Dzahabi rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau rahimahullah mengatakan,
اسمع ويحك إلى هذا الإمام كيف نقل الإجماع على هذه المسألة كما نقله في زمانه قتيبة المذكور
“Dengarkanlah perkataan Imam yang satu ini. Lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di masanya.”
Sanggahan: Abu Salafy Cuma Asal Nuduh
Kami sedikit mencuplik ucapan beliau dalam postingan di blognya dengan judul “Kaum Mujassimah Berbohong Atas Nama Imam Malik”. Beliau membawakan nukilan berikut ini ketika menerangkan ucapan Imam Malik di atas.
Ibnu Lubbân dalam menafsirkan ucapan Imam Maliki di atas mengatakan, seperti disebutkan dalam Ithâf as Sâdah al Muttaqîn,2/82:
كيف غير معقول أي كيف من صفات الحوادث وكل ما كان من صفات الحوادث فإثباته في صفات الله تعالى ينافي ما يقتضيه العقل فيجزم بنفيه عن الله تعالى ، قوله : والاستواء غير مجهول أي أنه معلوم المعنى عند أهل اللغة ، والإيمان به على الوجه اللائق به تعالى واجب ؛ لأنه من الإيمان بالله وبكتبه ، والسؤال عنه بدعة ؛ أي حادث لأن الصحابة كانوا عالمين بمعناه اللائق بحسب وضع اللغة فلم يحتاجوا للسؤال عنه ، فلما جاء من لم يحط بأوضاع لغتهم ولا له نور كنورهم يهديه لصفات ربه يسأل عن ذلك، فكان سؤاله سببا لاشتباهه على الناس وزيغهم عن المراد.
“Kaif tidak masuk akal, sebab ia termasuk sifat makhluk. Dan setiap sifat makhluk maka jika ditetapkan menjadi sifat –ta’ala- pasti menyalai apa yang wajib bagi-Nya berdasarkan hukum akal sehat, maka ia harus dipastikan untuk ditiadaakan dari Allah –ta’ala-. Ucapan beliau, “Istiwâ’ tidak majhûl” yaitu ia telah diketahui oleh ahli bahasa apa maknanya. Beriman sesuai dengan makna yang layak bagi Allah adalah wajib hukumnya, sebab ia termasuk beriman kepada Allah dan kitab-kitab-Nya. Dan “bertanya tentangnya adalah bid’ah” yaitu sesuatu yang dahulu tidak pernah muncul, sebab di masa sahabat, mereka sudah mengetahui maknanya yang layak sesuai dengan pemaknaan bahasa. Karenanya mereka tidak butuh untuk menanyakannya. Dan ketika datang orang yang tidak menguasai penggunaan bahasa mereka dan tidak memiliki cahaya seperti cahaya para sahabat yang akan membimbing mereka untuk mengenali sifat-sifat Tuhan mereka, muncullah pertanyaan tentangnya. Dan pertanyaan itu menjadi sebab kekaburan atas manusia dan penyimpangan mereka dari yang apa yang dimaksud.”
Diriwayatkan juga bahwa Imam Malik berkata:
الرحمن على العرش استوى كما وصف به نفسه ولا يقال كيف ، وكيف عنه مرفوع…
“Ar Rahmân di atas Arys beristiwâ’ sebagaimana Dia mensifati Diri-Nya. Dan tidak boleh dikatakan: Bagaimana? Dan bagaimana itu terangkat dari-Nya… “ (Lebih lanjut baca: Ithâf as Sâdah,2/82, Daf’u Syubah at Tasybîh; Ibnu al Jawzi: 71-72)
Pernyataan di atas benar-benar tamparan keras ke atas wajah-wajah kaum Mujassimah!
Penulis berkata, “Perkataan Imam Malik itu benar adanya. Begitu pula penjelasan dari Ibnu Lubban itu benar. Maksud perkataan mereka berdua adalah bahwa makna Istiwa’ itu sudah diketahui, sedangkan bagaimana dan hakekat Allah itu beristiwa’ itu tidak diketahui karena memang kita tidak diberitahu tentang hal tersebut. Kami khawatir abusalafy sendiri sebenarnya tidak memahami apa yang dimaksudkan oleh Imam Malik dan Ibnu Libban. Sampai-sampai dalam tulisan lain abusalafy menuduh yang bukan-bukan. Dalam tulisan lain yang abusalafy berkata:
Itulah yang benar-benar terjadi! Mazhab Wahhabi/Salafy “ngotot” menyebarkan dan meyakinkan kaum Muslimin bahwa Allah itu berbentuk… bersemayam, duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain… dan lain sebagainya dari akidah ketuhanan yang menggambarkan  Allah itu berbentuk dan menyandang sifat-sifat makhluk-Nya..
Penulis menjawab, “Siapa yang katakan bahwa sifat Allah itu dapat digambarkan bentuknya? Mana buktinya?” Beliau juga menuduh kami, “Allah duduk di atas Arsy-Nya yang dipikul oleh delapan kambing hutan atau dipikul empat malaikat yang rupa dan bentuk mereka beragam, ada yang menyerupai seekor singa dan yang lainnya menyerupai bentuk binatang lain”. Penulis menjawab, “Mana buktinya kami pernah menyatakan demikian? Dalam kitab mana? Ini sungguh tuduhan dan klaim dusta yang mengada-ada. Beliau pun tidak berani menunjukkan bukti dari tuduhan yang beliau bawakan.”
Semoga beliau bisa membedakan menetapkan sifat Allah dan menyebutkan bagaimana hakekat sifat tersebut. Coba renungkan dengan baik-baik perkataan Ishaq bin Rohuwyah yang pernah kami bawakan di postingan pertama serial ini. Beliaurahimahullah mengatakan, “Yang disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), jika kita mengatakan, ‘Tangan Allah sama dengan tanganku atau pendengaran-Nya sama dengan pendengaranku.’ Inilah yang disebut tasybih. Namun jika kita mengatakan sebagaimana yang Allah katakan yaitu mengatakan bahwa Allah memiliki tangan, pendengaran dan penglihatan; dan kita tidak sebut, ‘Bagaimana hakikat tangan Allah, dsb?’ dan tidak pula kita katakan, ‘Sifat Allah itu sama dengan sifat kita (yaitu tangan Allah sama dengan tangan kita)’; seperti ini tidaklah disebut tasybih. Karena ingatlah Allah Ta’ala berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy Syuro: 11)
Jadi ingatlah bahwa menyatakan Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, di atas langit ketujuh bukan berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Namun kita yakini sifat Allah itu jauh berbeda dengan makhluk-Nya, karena itulah perbedaan Allah yang memiliki sifat kemuliaan dan makhluk yang selalu dipenuhi kehinaan. Itulah memang karakter busuk dari Jahmiyah, asal menuduh yang bukan-bukan. Bagi setiap orang yang menetapkan sifat Allah, maka dituduhlah Mujassimah. Jauh-jauh hari, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni telah mengisyaratkan,
فالمعتزلة والجهمية ونحوهم من نفاة الصفات يجعلون كل من أثبتها مجسما مشبها ومن هؤلاء من يعد من المجسمة والمشبهة من الأئمة المشهورين كمالك والشافعي وأحمد وأصحابهم كما ذكر ذلك أبو حاتم صاحب كتاب الزينة وغيره
“Mu’tazilah, Jahmiyah dan semacamnya yang menolak sifat Allah, mereka menyebut setiap orang yang menetapkan sifat bagi Allah sebagai mujassimah atau musyabbihah. Bahkan di antara mereka menyebut para Imam besar yang telah masyhur (seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pengikut setia mereka) sebagai mujassimah atau musyabbihah (yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Abu Hatim, penulis kitab Az Zinah dan ulama lainnya.”
Itulah tuduhan Jahmiyah. Kami tutup tulisan berikut ini dengan menyampaikan perkataan Abu Nu’aim Al Ash-bahani, penulis kitab Al Hilyah. Beliau rahimahullah, “Metode kami (dalam menetapkan sifat Allah) adalah jalan hidup orang yang mengikuti Al Kitab, As Sunnah dan ijma’ (konsensus para ulama). Di antara i’tiqod (keyakinan) yang dipegang oleh mereka (para ulama) bahwasanya hadits-hadits yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan Allah berada di atas ‘Arsy dan mereka meyakini bahwa Allah beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy-Nya. Mereka menetapkan hal ini tanpa melakukan takyif (menyatakan hakekat sifat tersebut), tanpa tamtsil (memisalkannya dengan makhluk) dan tanpa tasybih (menyerupakannya dengan makhluk). Allah sendiri terpisah dari makhluk dan makhluk pun terpisah dari Allah. Allah tidak mungkin menyatu dan bercampur dengan makhluk-Nya. Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya di langit sana dan bukan menetap di bumi ini bersama makhluk-Nya.”


WALI SONGO-MISTERI ISLAMISASI JAWA



Oleh Prof. Hasanu Simon :

BAB I

Sebelum saya sampaikan tanggapan dan komentar saya terhadap buku berjudul "Syekh Siti Jenar, Ajaran dan Jalan Kematian", karya Dr Abdul Munir Mulkhan, saya sampaikan dulu mengapa saya bersedia ikut menjadi pembahas buku tersebut. Tentu saja saya mengucapkan terima kasih kepada panitia atas kepercayaan yang diberikan kepada saya di dalam acara launching buku yang katanya sangat laris ini.

Saya masuk Fakultas Kehutanan UGM tahun 1965, memilih Jurusan Manajemen Hutan. Sebelum lulus saya diangkat menjadi asisten, setelah lulus mengajar Perencanaan dan Pengelolaan Hutan. Pada waktu ada Kongres Kehutanan Dunia VIII di Jakarta tahun 1978, orientasi sistem pengelolaan hutan mengalami perubahan secara fundamental. Kehutanan tidak lagi hanya dirancang berdasarkan ilmu teknik kehutanan konvensional, melainkan harus melibatkan ilmu sosial ekonomi masyarakat. Sebagai dosen di bidang itu saya lalu banyak mempelajari hubungan hutan dengan masyarakat mulai jaman kuno dulu. Di situ saya banyak berkenalan dengan sosiologi dan antropologi. Khusus dalam mempelajari sejarah hutan di Jawa, banyak masalah sosiologi dan antropologi yang amat menarik.

Kehutanan di Jawa telah menyajikan sejarah yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan pengembangan strategi kehutanan sosial (social forestry strategy) yang sekarang sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan. Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku dan Sunan Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih tersimpan rapi di Leiden, diberi nama "Het Book van Mbonang", yang menjadi sumber acuan bagi para peneliti sosiologi dan antropologi.

Buku serupa tidak dijumpai sama sekali di Indonesia. Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia. Jadi seandainya tidak ada "Het Book van Mbonang", kita tidak mengenal sama sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi dengan data obyektif. Kenyataan sampai kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kalijogo, dan juga tentang Syekh Siti Jenar. Oleh karena itu yang berkembang lalu kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syekh Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan. Kisah Walisongo yang penuh dengan mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan.

Pembawa risalah Islam, Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam yang lahir 9 abad sebelum era Wallsongo tidak mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di Tho'if, beliau juga terluka dan hampir terbunuh ketika perang Uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang ketika diserang pasukan Majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih banyak itu dengan melemparkan sebuah bollpoint ke pasukan Majapahit. Begitu dilemparkan bollpoint tersebut segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar menyerang pasukan Majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian diberi nama Keris Kolomunyeng, yang oleh Kyai Langitan diberikan kepada Presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang Istimewa MPR yang sekarang sedang digelar, dan ternyata tidak ampuh.

Kisah Sunan Kalijogo yang paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal dan sebagai penjual rumput di Semarang yang diambil dari Gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi; salah seorang pembantunya mampu melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat. Pembuat ceritera ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk bulat sehingga permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu tidak mungkin dapat melihat Masjidil Haram dari Surabaya.

Islam juga mengajarkan bahwa Nabi lbrahim AS, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo, yang lahir dari keluarga pembuat dan penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwah untuk anti berhala. Ini menunjukkan bahwa kisah para wali di Jawa sangat ketinggalan jaman dibanding dengan kisah yang dialami oleh orang-orang yang menjadi panutannya, pada hal selisih waktu hidup mereka sangat jauh. "Het Book van Mbonang" yang telah melahirkan dua orang doktor dan belasan master bangsa Belanda itu memberi petunjuk kepada saya, pentingnya menulis sejarah berdasarkan fakta yang obyektif. "Het Book van Bonang" tidak menghasilkan kisah Keris Kolomunyeng, kisah cagak dan tatal, kisah orang berubah menjadi cacing, dan sebagainya.
Itulah ketertarikan saya dengan Syekh Siti Jenar sebagai bagian dari sejarah Islam di Indonesia. Saya tertarik untuk ikut menulis tentang Syekh Siti Jenar dan Walisongo. Tulisan saya belum selesai, tapi niat saya untuk terlibat adalah untuk membersihkan sejarah Islam di Jawa ini dari takhayul, mistik, khurofat dan kemusyrikan. Itulah sebabnya saya terima tawaran panitia untuk ikut membahas buku Syekh Siti Jenar karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini. Saya ingin ikut mengajak masyarakat untuk segera meninggalkan dunia mitos dan memasuki dunia ilmu.

Dunia mitos tidak saja bertentangan dengan akidah Islamiyah, tetapi juga sudah ketinggalan jaman ditinjau dari aspek perkembangan ilmu pengetahuan. Secara umum dunia mitos telah ditinggalkan akhir abad ke-19 yang lalu, atau setidak-tidaknya awal abad ke-20. Apakah kita justru ingin kembali ke belakang? Kalau kita masih berkutat dengan dunia mitos, masyarakat kita juga hanya akan menghasilkan pemimpin mitos yang selalu membingungkan dan tidak menghasilkan sesuatu.

BAB II

Siapa Syekh Siti Jenar ? Kalau seseorang menulis buku, tentu para pembaca berusaha untuk mengenal jatidiri penulis tersebut, minimal bidang keilmuannya. Oleh karena itu isi buku dapat dijadikan tolok ukur tentang kadar keilmuan dan identitas penulisnya. Kalau ternyata buku itu berwarna kuning, penulisnya juga berwarna kuning. Sedikit sekali terjadi seorang yang berfaham atheis dapat menulis buku yang bersifat relijius karena dua hal itu sangat bertentangan. Seorang sarjana pertanian dapat saja menulis buku tentang sosiologi, karena antara pertanian dan sosiologi sering bersinggungan. Jadi tidak mustahil kalau Isi sebuah buku tentu telah digambarkan secara singkat oleh judulnya. Buku tentang Berternak Kambing Ettawa menerangkan seluk-beluk binatang tersebut, manfaatnya, jenis pakan, dan sebagainya yang mempunyai kaitan erat dengan kambing Ettawa.

Judul buku karya Dr Abdul Munir Mulkhan ini adalah: "Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar". Pembaca tentu sudah membayangkan akan memperoleh informasi tentang kedua hal itu, yaitu ajaran Syekh Siti Jenar dan bagaimana dia mati. Penulis buku juga setia dengan ketentuan seperti itu.

Bertitik-tolak dari ketentuan umum itu, paragraf 3 sampai dengan 6, Bab Satu tidak relevan.. Bab Satu diberi judul: Melongok Jalan Sufi: Humanisasi Islam Bagi Semua. Mungkin penulis ingin mengaktualisasikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan situasi kini, tetapi apa yang ditulis tidak mengena sama sekali. Bahkan di dalam paragraf 3-6 itu banyak pernyataan (statements) yang mencengangkan saya sebagai seorang muslim.

Pernyataan di dalam sebuah tulisan, termasuk buku, dapat berasal dari diri sendiri atau dari orang lain. Pernyataan orang lain mesti disebutkan sumbernya; oleh karena itu pernyataan yang tidak ada sumbernya dianggap oleh pembaca sebagai pernyataan dari penulis. Pernyataan orang lain dapat berbeda dengan sikap, watak dan pendapat penulis, tetapi pernyataan penulis jelas menentukan sikap, watak dan pendapatnya. Pernyataan-pernyataan di dalam sebuah buku tidak lepas satu dengan yang lain. Rangkaiannya, sistematika penyajiannya, merupakan sebuah bangunan yang menentukan kadar ilmu dan kualitas buku tersebut. Rangkaian dan sistematika pernyataan musti disusun menurut logika keilmuan yang dapat diterima dan dibenarkan oleh masyarakat ilmu.
Untuk mengenal atau menguraikan ajaran Syekh Siti Jenar, adalah logis kalau didahului dengan uraian tentang asal-usul yang empunya ajaran. Ini juga dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan (Paragraf I Bab Satu, halaman 3-10). Di dalam paragraf tersebut diterangkan asal-usul Syekh Siti Jenar tidak jelas. Seperti telah diterangkan, karena tidak ada sumber obyektif maka kisah asal-usul ini juga penuh dengan versi-versi. Di halaman 3, dengan mengutip penelitian Dalhar Shofiq untuk skripsi S-1 Fakultas Filsafat UGM, diterangkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah putera seorang raja pendeta dari Cirebon bernama Resi Bungsu. Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Hasan Ali alias Abdul Jalil.

Kalau seseorang menulis buku, apalagi ada hubungannya dengan hasil penelitian, pembahasan secara ilmiah dengan menyandarkan pada logika amat penting. Tidak semua berita dikutip begitu saja tanpa analisis. Di dalam uraian tentang asal-usul Syekh Siti Jenar di halaman 3-10 ini jelas sekali penuh dengan kejanggalan, tanpa secuil analisis pun untuk memvalidasi berita tersebut. Kejanggalan-kejanggalan itu adalah :

1. Ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang raja pendeta benama Resi Bungsu. Istilah raja pendeta ini kan tidak jelas. Apakah dia seorang raja, atau pendeta. Jadi beritanya saja sudah tidak jelas sehingga meragukan.

2. Di halaman 62, dengan mengutip sumber Serat Syekh Siti Jenar, diterangkan bahwa ayah Syekh Siti Jenar adalah seorang elite agama Hindu-Budha. Agama yang disebutkan ini juga tidak jelas. Agama Hindu tidak sama dengan agama Budha. Setelah Islam muncul menjadi agama mayoritas penduduk pulau Jawa, persepsi umum masyarakat memang menganggap agama Hindu dan Budha sama. Pada hal ajaran kedua agama itu sangat berbeda, dan antara keduanya pernah terjadi perseteruan akut selama berabad-abad. Runtuhnya Mataram Hindu pada abad ke-10 disebabkan oleh perseteruan akut tersebut. Runtuhnya Mataram Hindu berakibat sangat fatal bagi perkembangan Indonesia. Setelah itu kerajaan-kerajaan Jawa terus menerus terlibat dengan pertikaian yang membuat kemunduran. Kemajuan teknologi bangsa Jawa yang pada abad ke-10 sudah di atas Eropa, pada abad ke-20 ini jauh di bawahnya. Tidak hanya itu, bahkan selama beberapa abad Indonesia (termasuk Jawa) ada di bawah bayang-bayang bangsa Eropa.

3. Kalau ayah Syekh Siti Jenar beragama Hindu atau Budha, mengapa anaknya diberi nama Arab, Hasan Ali alias Abdul Jalil. Apalagi seorang "raja pendeta" yang hidup di era pergeseran mayoritas agama rakyat menuju agama Islam, tentu hal itu janggal terjadi.

4. Atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sang ayah menyihir sang anak menjadi seekor cacing lalu dibuang ke sungai. Di sini tidak disebut apa kesalahan tersebut, sehingga sang ayah sampai tega menyihir anaknya menjadi cacing. Masuk akalkah seorang ayah yang "raja pendeta" menyihir anaknya menjadi cacing. Ilmu apakah yang dimiliki "raja pendeta" Resi Bungsu untuk merubah seseorang menjadi cacing? Kalau begitu, mengapa Resi Bungsu tidak menyihir para penyebar Islam yang pada waktu itu mendepak pengaruh dan ketenteraman batinnya? Ceritera seseorang mampu merubah orang menjadi binatang ceritera kuno yang mungkin tidak pernah ada orang yang melihat buktinya. Ini hanya terjadi di dunia pewayangan yang latar belakang agamanya Hindu (Mahabarata) dan Budha (Ramayana).

5. Cacing Hasan Ali yang dibuang di sungai di Cirebon tersebut, suatu ketika terbawa pada tanah yang digunakan untuk menembel perahu Sunan Mbonang yang bocor.. Sunan Mbonang berada di atas perahu sedang mengajar ilmu gaib kepada Sunan Kalijogo. Betapa luar biasa kejanggalan pada kalimat tersebut. Sunan Mbonang tinggal di Tuban, sedang cacing Syekh Siti Jenar dibuang di sungai daerah Cirebon. Di tempat lain dikatakan bahwa Sunan Mbonang mengajar Sunan Kalijogo di perahu yang sedang terapung di sebuah rawa. Adakah orang menembel perahu bocor dengan tanah? Kalau toh menggunakan tanah, tentu dipilih dan disortir tanah tersebut, termasuk tidak boleh katutan (membawa) cacing.

6. Masih di halaman 4 diterangkan, suatu saat Hasan Ali dilarang Sunan Giri mengikuti pelajaran ilmu gaib kepada para muridnya. Tidak pernah diterangkan, bagaimana hubungan Hasan Ali dengan Sunan Giri yang tinggal di dekat Gresik. Karena tidak boleh, Hasan Ali lalu merubah dirinya menjadi seekor burung sehingga berhasil mendengarkan kuliah Sunan Giri tadi dan memperoleh ilmu gaib. Setelah itu Hasan Ali lalu mendirikan perguruan yang ajarannya dianggap sesat oleh para wali. Untuk apa Hasan Ali belajar ilmu gaib dari Sunan Giri, padahal dia sudah mampu merubah dirinya menjadi seekor burung.

Al hasil, seperti dikatakan oleh Dr Abdul Munis Mulkhan sendiri dan banyak penulis yang lain, asal-usul Syekh Siti Jenar memang tidak jelas. Karena itu banyak pula orang yang meragukan, sebenarnya Syekh Siti Jenar itu pernah ada atau tidak. Pertanyaan ini akan saya jawab di belakang. Keraguan tersebut juga berkaitan dengan, di samping tempat lahirnya, di mana sebenarnya tempat tinggal Syekh Siti Jenar. Banyak penulis selalu menerangkan bahwa nama lain Syekh Siti Jenar adalah: Sitibrit, Lemahbang, Lemah Abang. Kebiasaan waktu, nama sering dikaitkan dengan tempat tinggal. Di mana letak Siti Jenar atau Lemah Abang itu sampai sekarang tidak pernah jelas; padahal tokoh terkenal yang hidup pada jaman itu semuanya diketahui tempat tinggalnya. Syekh Siti Jenar tidak meninggalkan satupun petilasan.

Karena keraguan dan ketidak-jelasan itu, saya setuju dengan pendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang tidak pernah ada. Lalu apa sebenarnya Syekh Siti Jenar itu? Sekali lagi pertanyaan ini akan saya jawab di belakang nanti. Kalau Syekh Siti Jenar tidak pernah ada, mengapa kita ber-tele-tele membicarakan ajarannya. Untuk apa kita berdiskusi tentang sesuatu yang tidak pernah ada. Apalagi diskusi itu dalam rangka memperbandingkan dengan Al Qur'an dan Hadits yang amat jelas asal-usulnya, mulia kandungannya, jauh ke depan jangkauannya, tinggi muatan ipteknya, sakral dan dihormati oleh masyarakat dunia.
Sebaliknya, Syekh Siti Jenar hanya menjadi pembicaraan sangat terbatas di kalangan orang Jawa. Tetapi karena begitu sinis dan menusuk perasaan orang Islam yang telah kaffah bertauhid, maka mau tidak mau lalu sebagian orang Islam harus melayaninya. Oleh karena itu sebagai orang Islam yang tidak lagi ragu terhadap kebenaran Al Qur'an dan kerosulan Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, saya akan berkali-kali mengajak saudara-saudaraku orang Islam untuk berhati-hati dan jangan terlalu banyak membuang waktu untuk mendiskusikan ceritera fiktif yang berusaha untuk merusak akidah Islamiyah ini.


BAB III

Sunan Kalijogo
Semua orang di Indonesia, apalagi orang Islam, kenal dengan nama Sunan Kalijogo yang kecilnya bernama Raden Mas Said ini. Dikatakan dia adalah putera Adipati Tuban Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur yang beragama Islam.
Silsilah Raden Sahur ke atas adalah putera Ario Tejo III (Islam), putera Ario Tejo II, putera Ario Tejo II (Hindu), putera Ario Tejo I, putera Ronggolawe, putera Ario Banyak Wide alias Ario Wiraraja, putera Adipati Ponorogo. Itulah asal usul Sunan Kalijogo yang banyak ditulis dan diyakini orang, yang sebenarnya merupakan versi Jawa. Dua versi lainnya tidak pernah ditulis atau tidak dijumpai dalam media cetak sehingga tidak diketahui masyarakat luas (Imron Abu Ammar, 1992).

Di depan telah saya singgung bahwa kisah Sunan Kalijogo versi Jawa ini penuh dengan ceritera mistik. Sumber yang orisinil tentang kisah tersebut tidak tersedia. Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti sejarah Jawa, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda memang tidak tersedia data yang dapat dipercaya tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa banyak bersumber dari cerita rakyat yang versinya banyak sekali.. Mungkin cerita rakyat itu bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai Juru Pamekas, lalu sedikit demi sedikit mengalami distorsi setelah melewati para pengagum atau penentangnya.
Namun demikian sebenarnya Sunan Kalijogo meninggalkan dua buah karya tulis, yang satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat, yaitu Serat Dewo Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk Linglung. Serat Dewo Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang. Saya pertama kali melihat wayang dengan lakon Dewo Ruci pada waktu saya masih duduk di kelas 5 SR, di desa kelahiran ibu saya Pelempayung (Madiun) yang dimainkan oleh Ki dalang Marijan. Sunan Kalijogo sendiri sudah sering menggelar lakon yang sebenarnya merupakan kisah hidup yang diangan-angankan sendiri, setelah kurang puas dengan jawaban Sunan Mbonang atas pertanyaan yang diajukan. Sampai sekarang Serat Dewo Ruci merupakan kitab suci para penganut Kejawen, yang sebagian besar merupakan pengagum ajaran Syekh Siti Jenar yang fiktif tadi.

Kalau Serat Dewo Ruci diperbandingkan dengan Suluk Linglung, mungkin para penganut Serat Dewo Ruci akan kecelek. Mengapa demikian? Isi Suluk Linglung ternyata hampir sama dengan isi Serat Dewo Ruci, dengan perbedaan sedikit namun fundamental. Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijogo telah menyinggung pentingnya orang untuk melakukan sholat dan puasa, sedang hal itu tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewo Ruci. Kalau Serat Dewo Ruci telah lama beredar, Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijogo.. Seorang pegawai Departemen Agama Kudus, Drs Chafid mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut, dan ternyata disimpan oleh Ny Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo ke-14. Buku tersebut ditulis di atas kulit kambing, oleh tangan Sunan Kalijogo sendiri menggunakan huruf Arab pegon berbahasa Jawa. Tahun 1992 buku diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Saat ini saya sedang membahas kedua buku itu, dan untuk sementara saya sangat bergembira karena menurut kesimpulan saya, menjelang wafat ternyata Sunan Kalijogo menjadi kaffah mengimani Islam. Sebelumnya Sunan Kalijogo tidak setia menjalankan syariat Islam, sehingga orang Jawa hanya meyakini bahwa yang dilakukan oleh Sunan terkenal ini bukan sholat lima waktu melain sholat da'im. Menurut Ustadz Mustafa Ismail LC, da'im berarti terus-menerus. Jadi Sunan Kalijogo tidak sholat lima waktu melainkan sholat da'im dengan membaca Laa illaha ilalloh kapan saja dan di mana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud. Atas dasar itu untuk sementara saya membuat hipotesis bahwa Syekh Jenar sebenarnya adalah Sunan Kalijogo. Hipotesis inilah yang akan saya tulis dan sekaligus saya gunakan untuk mengajak kaum muslimin Indonesia untuk tidak bertele-tele menyesatkan diri dalam ajaran Syekh Siti Jenar. Sayang, waktu saya masih banyak terampas untuk menyelesaikan buku-buku saya tentang kehutanan sehingga upaya saya untuk mengkaji dua buku tersebut tidak dapat berjalan lancar. Atas dasar itu pula saya menganggap bahwa diskusi tentang Syekh Siti Jenar, seperti yang dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan ini, menjadi tidak mempunyai landasan yang kuat kalau tidak mengacu kedua buku karya Sunan Kalijogo tersebut.

Sebagai tambahan, pada waktu Sunan Kalijogo masih berjatidiri seperti tertulis di dalam Serat Dewo Ruci, murid-murid kinasih-nya berfaham manunggaling kawulo Gusti (seperti Sultan Hadiwidjojo, Pemanahan, Sunan Pandanaran, dan sebagainya), sedang setelah kaffah murid dengan tauhid murni, yaitu Joko Katong yang ditugaskan untuk mengislamkan Ponorogo. Joko Katong sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas sampai sekarang, termasuk Kyai Kasan Bestari (guru R Ng Ronggowarsito), Kyai Zarkasi (pendiri PS Gontor), dan mantan Presiden BJ Habibie termasuk Ny Ainun Habibie.

BAB IV

Walisongo
Sekali lagi kisah Walisongo penuh dengan cerita-cerita yang sarat dengan mistik. Namun Widji Saksono dalam bukunya "Mengislamkan Tanah Jawa" telah menyajikan analisis yang memenuhi syarat keilmuan. Widji Saksono tidak terlarut dalam cerita mistik itu, memberi bahasan yang memadai tentang hal-hal yang tidak masuk akal atau yang bertentangan dengan akidah Islamiyah.

Widji Saksono cukup menonjolkan apa yang dialami oleh Raden Rachmat dengan dua temannya ketika dijamu oleh Prabu Brawidjaja dengan tarian oleh penan putri yang tidak menutup aurat. Melihat itu Raden Rachmat selalu komat-kamit, tansah ta'awudz. Yang dimaksudkan pemuda tampan terus istighfar melihat putri-putri cantik menari dengan sebagian auratnya terbuka. Namun para pengagum Walisongo akan "kecelek" (merasa tertipu, red) kalau membaca tulisan Asnan Wahyudi dan Abu Khalid. Kedua penulis menemukan sebuah naskah yang mengambil informasi dari sumber orisinil yang tersimpan di musium Istana Istambul, Turki. Menurut sumber tersebut, ternyata organisasi Walisongo dibentuk oleh Sultan Muhammad I. Berdasarkan laporan para saudagar Gujarat itu, Sultan Muhammad I lalu ingin mengirim tim yang beranggotakan sembilan orang, yang memiliki kemampuan di berbagai bidang, tidak hanya bidang ilmu agama saja.. Untuk itu Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang isinya minta dikirim beberapa ulama yang mempunyai karomah.

Berdasarkan perintah Sultan Muhammad I itu lalu dibentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki. Berita ini tertulis di dalam kitab Kanzul 'Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi. Secara lengkap, nama, asal dan keahlian 9 orang tersebut adalah sebagai berikut:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro'il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat (??).

Dengan informasi baru itu terjungkir-baliklah sejarah Walisongo versi Jawa. Ternyata memang sejarah Walisongo versi non-Jawa, seperti telah disebutkan di muka, tidak pernah diekspos, entah oleh Belanda atau oleh siapa, agar orang Jawa, termasuk yang memeluk agama Islam, selamanya terus dan semakin tersesat dari kenyataan yang sebenarnya. Dengan informasi baru itu menjadi jelaslah apa sebenarnya Walisongo itu. Walisongo adalah gerakan berdakwah untuk menyebarkan Islam. Oleh karena gerakan ini mendapat perlawanan dengan gerakan yang lain, termasuk gerakan Syekh Siti Jenar.

Latar Belakang Gerakan Syekh Siti Jenar
Tulisan tentang Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya bersumber pada satu tulisan saja, yang mula-mula tanpa pengarang. Tulisan yang ada pengarangnya juga ada, misalnya Serat Sastro Gendhing oleh Sultan Agung. Buku berjudul Ajaran Syekh Siti Jenar karya Raden Sosrowardojo yang menjadi buku induk karya Dr Abdul Munir Mulkhan itu sebenarnya merupakan gubahan atau tulisan ulang dari buku dengan judul yang sama karya Ki Panji Notoroto. Nama Panji Notoroto adalah samaran mantan Adipati Mataram penganut berat ajaran Syekh Siti Jenar. Ki Panji Notoro memberi informasi menarik, bahwa rekan-rekan Adipati seangkatannya ternyata tidak ada yang dapat membaca dan menulis. Ini menunjukkan bahwa setelah era Demak Bintoro, nampaknya pendidikan klasikal di masyarakat tidak berkembang sama sekali.

Memahami Al Qur'an dan Hadits tidak mungkin kalau tidak disadari dengan ilmu. Penafsiran Al Qur'an tanpa ilmu akan menghasilkan hukum-hukum yang sesat belaka. Itulah nampaknya yang terjadi pada era pasca Demak, yang kebetulan sejak Sultan Hadiwidjojo agama yang dianut kerajaan adalah agama manunggaling kawulo Gusti. Di samping masalah pendidikan, sejak masuknya agama Hindu di Jawa ternyata pertentangan antar agama tidak pernah reda. Hal ini dengan jelas ditulis di dalam Babad Demak. Karena pertentangan antar agama itulah Mataram Hindu runtuh (telah diterangkan sebelumnya). Sampai dengan era Singasari, masih ada tiga agama besar di Jawa yaitu Hindu, Budha dan Animisme yang juga sering disebut Agama Jawa. Untuk mencoba meredam pertentangan agama itu, Prabu Kertonegoro, raja besar dan terakhir Singasari, mencoba untuk menyatukannya dengan membuat agama baru disebut agama Syiwa-Boja. Syiwa mewakili agama Hindu, Bo singkat Buda dan Ja mewakili agama Jawa.

Nampaknya sintesa itulah yang, ditiru oleh politik besar di Indonesa akhir decade 1950-an dulu, Nasakom. Dengan munculnya Islam sebagai agama mayoritas baru, banyak pengikut agama Hindu, Budha dan Animisme yang melakukan perlawanan secara tidak terang-terangan. Mereka lalu membuat berbagai cerita, misalnya Gatholoco, Darmogandhul, Wali Wolu Wolak-walik, Syekh Bela Belu, dan yang paling terkenal Syekh Siti Jenar. Untuk yang terakhir itu kebetulan dapat di-dhompleng-kan kepada salah satu anggota Walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Kalijogo seperti telah disebutkan di muka.

Jadi Syekh Siti Jenar sebenarnya hanya sebuah gerakan anti reformasi, anti perubahan dari Hindu-Budha-Jawa ke Islam. Oleh karena itu isi gerakan itu selalu sinis terhadap ajaran Islam, dan hanya diambil potongan-potongannya yang secara sepintas nampak tidak masuk akal. Potongan-potongan ini banyak sekali disitir oleh Dr Abdul Munir Mulkhan tanpa telaah yang didasarkan pada dua hal, yaltu logika dan aqidah.

Pernyataan-pernyataan
Masalah pernyataan yang dibuat oleh penulis buku ini telah saya singgung di muka. Banyak sekali pernyataan yang saya sebagai muslim ngeri membacanya, karena buku ini ditulis juga oleh seorang muslim, malah Ketua sebuah organisasi Islam besar. Misalnya pernyataan yang menyebutkan: "ngurusi" Tuhan, semakin dekat dengan Tuhan semakin tidak manusiawi, kelompok syariah yang dibenturkan dengan kelompok sufi, orang beragama yang mengutamakan formalitas, dan sebagainya.

Setahu saya dulu pernyataan seperti itu memang banyak diucapkan oleh orang-orang dari gerakan anti Islam, termasuk orang-orang dari Partai Komunis Indonesia yang pernah menggelar kethoprak dengan lakon "Patine Gusti Allah" (matinya Allah,red) di daerah Magelang tahun 1965-an awal. Bahkan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa syahadat, sholat, puasa, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji itu tidak perlu. Yang penting berbuat baik untuk kemanusiaan.
Ini jelas pendapat para penganut agama Jawa yang sedih karena pengaruhnya terdesak oleh Islam. Rosululloh juga tidak mengajarkan pelaksanaan ibadah hanya secara formalistik, secara ritual saja. Dengan Islam mengajarkan kepada penganutnya untuk berbuat baik, karena kehidupan muslimin harus memenuhi dua aspek, yaitu hablum minannaas wa hablum minalloh.

Di dalam buku, seperti saya sebutkan, hendaknya pernyataan disusun sedemikian rupa untuk membangun sebuah misi atau pengertian. Apa sebenarnya misi yang akan dilakukan oleh Dr Abdul Munir Mulkhan dengan menulis buku Syekh Siti Jenar itu. Buku ini juga dengan jelas menyiratkan kepada pembaca bahwa mempelajari ajaran Syekh Siti Jenar itu lebih baik dibanding dengan mempelajari fikih atau syariat. Islam tidak mengkotak-kotakkan antara fikih, sufi dan sebagainya. Islam adalah satu, yang karena begitu kompleksnya maka orang harus belajar secara bertahap. Belajar syariah merupakan tahap awal untuk mengenal Islam.
Penulis juga membuat pernyataan tentang mengkaji Al Qur'an. Bukan hanya orang Islam dan orang yang tahu bahasa Arab saja yang boleh belajar Qur'an. Di sini nampaknya penulis lupa bahwa untuk belajar Al Qur'an, ada dua syarat yang harus dipenuhl, yaitu muttaqien (Al Baqoroh ayat 2) dan tahu penjelasannya, yang sebagian telah dicontohkan oleh Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Jadi sebenarnya boleh saja siapapun mengkaji Al Qur'an, tetapi tentu tidak boleh semaunya sendiri, tanpa melewati dua rambu penting itu. Oleh karena itu saya mengajak kepada siapapun, apalagi yang beragama Islam, untuk belajar Al Qur'an yang memenuhi kedua syarat itu, misalnya kepada Ustadz UB, ustadz MIl, dan banyak lagi, khususnya alumni universitas Timur Tengah. Jangan belajar Al Qur'an dari pengikut ajaran Syekh Siti Jenar karena pasti akan tersesat sebab Syekh Siti Jenar adalah gerakan untuk melawan Islam.

Catatan Kecil
Untuk mengakhiri tanggapan saya, saya sampaikan beberapa catatan kecil pada buku Syekh Siti Jenar karya Dr Abdul Munis Mulkhan ini :

1. Banyak kalimat yang tidak sempurna, tidak mempunyai subyek misalnya. Juga banyak kalimat yang didahului dengan kata sambung.
2. Banyak pernyataan yang terlalu sering diulang-ulang sehingga terkesan mengacaukan sistematika penulisan.
3. Bab Satu diakhiri dengan Daftar Kepustakaan, Bab lain tidak, dan buku ini ditutup dengan Sumber Pustaka. Yang tercantum didalam Daftar kepustakaan Bab Satu hampir sama dengan yang tercantum dalam Sumber Pustaka.
4. Cara mensitir penulis tidak konsisten, contoh dapat dilihat pada halaman II yang menyebut: ....... sejarah Islam (Madjld, Khazanah, 1984), dan di alinea berikutnya tertulis:... .... Menurut Nurcholish Madjld (Khazanas, 1984, hlm 33).
5. Bab Keempat, seperti diakui oleh penulis, merupakan terjemahan buka karya Raden Sosrowardoyo yang pernah ditulis di dalam buku dengan judul hampir sama oleh penulis. Di dalam buku ini bab tersebut mengambil hampir separoh buku (halaman 179 -310). Karena pernah ditulis, sebenarnya di sini tidak perlu ditulis lagi melainkan cukup mensitir saja. Beberapa catatan ini memang kecil, tetapi patut disayangkan untuk sebuah karya dari seorang pemegang gelar akademik tertinggi, Doktor.

Demikianlah tanggapan saya, kurang lebihnya mohon dima'afkan. Semoga yang saya lakukan berguna untuk berwasiat-wasitan (saling menasehati,red) didalam kebenaran sesuai dengan amanat Alloh Subhanahu Wa Ta'ala di dalam surat Al-'Ashr
Amien.


Wassalaamu 'alaikum warokhwatulloohi wabarokaatuh.